Minggu, 05 Desember 2021

Covid-19 Singgah Sejenak (Part 3)

Tidak berapa lama  ponakan suamiku datang menjemput bersama mobil sewaan untuk mengantar kami ke rumah sakit. Di saat akan berangkat Bu dokter PKM menelponku mengatakan kalau pihak RS sudah dihubungi dan meminta kami segera berangkat. Beliau juga mendoakan yang terbaik untuk kami sekeluarga. Sambil bergegas menuju mobil aku ucapkan banyak terima kasih karena sudah memesankan tempat untuk suami dan anakku.

Selama perjalanan menuju RS kami ngobrol tentang kondisi pandemi. Nah  ternyata ponakan suamiku ini juga sedang tidak enak badan sudah beberapa hari, makanya kuperhatikan dia pakai jaket tebal lengkap dengan kaos kaki padahal hanya pakai sendal. Sementara itu si sopir juga bercerita apabila di keluarganya juga mulai tumbang. Di kampungku itu antara tetangga  satu dengan yang lainnya apabila dikaitkan masih saudara dekat. Karena mereka kebanyakan menikah dengan orang sekampung dulunya. Pada saat pandemi ini banyak sekali tetangga yang sakit, tapi jarang yang mau berobat k PKM atau ke klinik. Mereka lebih banyak memilih isoman dan konsumsi herbal untuk mengatasi sakitnya.

Tidak butuh waktu lama untuk sampai di RS karena jaraknya kurang lebih 8 kilometer dari rumah. Kendaraan langsung diarahkan ke IGD yang posisinya berada di gedung bagian belakang khusus untuk menerima pasien covid-19. Ketika aku memasuki ruang IGD nampak hanya ada 1 pasien. Ternyata IGD sepi pagi ini. Setelah suami dan anakku dipersilahkan berbaring di ranjang paaien maka kutunjukan lembaran hasil rapid antigen ke mas perawat.  Perawat lalu menyuruh ku untuk menunggu di luar ruangan. Kuperhatikan dari luar mbak perawat melakukan penanganan pada suami dan anakku. Keduanya diinfus dan ditambahkan oksigen. Disaat aku menunggu tak lama ada perawat menghampiriku lalu menyodorkan surat pernyataan tentang persetujuan rawat inap. Setelah aku menyetujui dan menandatangani perjanjiannya maka disuruhnya aku untuk daftar diloket bagian depan. Semua proses admistrasi berjalan lancar si mbaknya mengatakan kalau segala biaya pasien covid-19 akan ditanggung negara.
Urusan pendaftaran beres aku balik lagi ke ruang tunggu IGD. Ternyata ruang tersebut sudah banyak pasien. Beberapa ranjang pasien sudah terisi dan hampir semua mempunyai kasus yang sama. Belum sampai jam 9 pagi IGD tersebut sudah penuh dengan pasien dan menempati ranjang yang tersedia.  Beberapa pasien yang masih berdatangan harus kecewa dan balik pulang atau mencari RS lain karena sudah tidak ada persediaan tabung oksigen.  Lewat jam 9 ponakan yang mengantarku tadi pamit pulang karena pemilik mobil akan segera membuka bengkel miliknya. Cukup lama untuk proses pemindahan ke ruang isolasi khusus penderita covid-19. Sekitar dua jam kemudian setelah mbak bagian admistrasi menuju ruang IGD anakku pun dipindah lebih dulu. Perlengkapannya juga dibawa sekalian. Tas berisi baju selama satu minggu, air mineral ukuran 500 ml sebanyak 2 botol serta sebungkus roti yang kubeli di kantin dibawa juga. Di dalamnya juga kusediakan suplemen dan vitamin C.

Setelah tiba di ruangan isolasi aku chat anakku, apakah ada teman atau pasien lain. Ternyata dia sendirian di dalam ruangan. Lalu kuminta untuk mengambil gambarnya, karena ingin tahu kondisi ruangan seperti apa. Aku sempat bertanya-tanya, di aplikasi tertulis ada ranjang pasien kosong hanya 1 bad saja.  Tapi ternyata ruangan yang kapasitas 5 orang itu masih berisi anakku. Entahlah aku tak mengerti apa dibalik itu semua. Saat itu aku pun berdoa agar suami dan anakku bisa satu ruangan dan tidak terpisah. Meskipun anakku sudah semester 6 tapi aku sangat khawatir. Dia selalu memikirkan kondisi ayahnya meskipun dia sendiri kondisinya semakin menurun. Bila mereka dalam satu ruangan kemungkinan besar ada rasa nyaman karena bisa melihat satu sama lain. Senyaman-nyamannya di rumah sakit itu tetap gak enak juga.

Disaat menunggu suamiku pindah ruangan tiba-tiba mbak iparku telepon menanyakan posisi ku dimana karena dilihat di IGD depan tidak ada. Alhamdulillah ada teman untuk menunggui suami selama belum pindah ruang. Sampai lewat beduk duhur suami baru dipindahkan ke ruang isolasi, dan alhamdulilah satu ruang dengan anaknya. Di sini aku mulai merasakan lapar. Setelah mendapatkan penjelasan dari perawat untuk lokasi ruang isolasi dan aturannya aku pun ke kantin. Setelah makan pagi dan seklaian siang aku menuju ruang isolasi untuk mengantarkan air mineral. Hari yang sangat melelahkan. Kutinggalkan suami dan anakku dan berdoa semoga mendapat perawatan yang baik dan sehat kembali. Aku pun akan menjalani isoman sepuluh hari ke depan ditambah tiga hari.

Sepengetahuanku yang namanya isoman itu berada di dalam rumah, tidak boleh keluar rumah untuk melakukan apapun. Jadi segala kebutuhan yang kita perlukan bisa dibeli dengan cara online. Bisa juga bila ada saudara atau tetangga yang baik hati membantu menyediakan kebutuhan makanan. Tidak belanja ke tukang sayur atau ke swalayan. Akan tetapi kenyataannya lain dengan yang aku alami. Bila orang lain isoman selalu berada di rumah maka tidak denganku.  Karena suami dan anak yang sedang menjalani isolasi di RS membutuhkan air yang banyak, jatah minum dari RS tahu sendirikan, gak mungkin diberikan botol besar, tapi hanya segelas dibarengkan dengan jatah makan. Sehingga sangat kurang bagi pasien covid-19. Keluarga pasien harus selalu menyediakan air dan kebutuhan lainnya.


Hampir setiap hari aku mengantar air mineral ukuran 1,5 liter kurang lebih sebanyak 5 botol untuk suami dan anakku. Untung saja lokasi RS hanya sekitar 6 kilometer dari rumah. Bergantian aku dan si kakak, keponakanku. Kabarnya kalau sedang menderita penyakit covid-19 harus banyak konsumsi  air. Hal dilakukan agar  terhindar dari masalah dehidrasi. Apalagi obat yang dimasukkan ke dalam cairan infus sangat banyak sekali. Diyakini oleh suami dengan banyak konsumsi air ketika minum obat akan memudahkan penyerapan. Entah benar atau salah pendapat ini. 

Di hari ketiga saat di RS tiba-tiba salah satu perawat ruang isolasi menghubungiku lewat pesan di aplikasi WhatsApp. Aku disuruhnya untuk segera menuju ruang isolasi berkaitan dengan kondisi suamiku. Bergegas aku mengeluarkan motor untuk memenuhi panggilan ruang isolasi. Kakak ipar menyuruh anaknya untuk menemaniku. Benar saja baru jalan sekitar 200 meter aku sudah gemetar, kupilih bonceng ponakan saja yang tadinya aku di depan. Hati teras tak karuan, sambil memohon agar bukan kabar buruk yang kuterima. Sesampai di RS aku berjalan setengah berlari menuju ruang isolasi. Perawat berwajah manis sudah menungguku. Dia mempersilakanku untuk duduk dikursi depannya. Kemudian perawat tersebut menjelaskan kondisi suami yang tiba-tiba menurun. Saturasi 84, alat oksigen harus diganti ke level paling tinggi. Si mbak perawat menjelaskan bahwa kondisi suamiku bisa berubah sewaktu-waktu karena covid-19 yang singgah merupakan jenis yang berbeda dengan sebelumnya. Begitu juga dengan alat bantu nafas untuk anakku juga dinaikkan levelnya. Aku diminta untuk banyak berdoa dengan kondisi suamiku tersebut, karena bisa saja berakibat pada kematian.

Penjelasan perawat itu membuatku terhenyak. Aku benar-benar kaget, dalam hati berkata" duh mbak perawat mbok ya yang halus kalau menyampaikan". Andai saja dia bilang" kondisi suami ibuk bisa saja berubah sewaktu-waktu ke hal yang paling buruk". Dengan penjelasan seperti itu mungkin tidak membuatku gemetaran sampai berlinang air mata. Sebenarnya kondisi suami setelah diganti alat bantu oksigen sudah berangsur baik, saturasi naik menjadi 96. Agak lega hatiku ketika diakhir perawat tadi menjelaskan dengan digantinya alat saturasi bisa naik lagi ke angka normal  Mungkin karena varian yang singgah berbeda dengan saat awal-awal covid masuk Indonesia bisa saja kondisi kesehatan suami menjadi berkebalikannya. Setelah perawat selesai memberikan penjelasan kemudian dia berpamitan masuk ruang isolasi lagi. Sementara aku dan keponakanku turun ke lantai satu menuju tempat parkir. Aku masih pilih diboceng saja meski hati sudah lega.

Setiap hari aku selalu  menghubungi suami dan anak, menanyakan kondisinya. Anakku menceritakan kondisi semakin menurun. Setiap gerak selalu batuk, bangun untuk makan atau minum juga batuk hebat. Letak kamar mandi agak jauh, berada di luar ruang isolasi. Satu kamar mandi untuk dua ruang isolasi. Satu ruang isolasi berisi 5 orang. anakdan suami mengatakan untuk dapat mencapai kamar mandi  adalah suatu perjuangan. Yang dirasakan anakku seluruh badannya lemas, pusing dan mual. Berjalan kembali menuju tempat tidurnya pun seolah tak sampai, nafas terengah-engah seakan mau pingsan. Keadaan ini membuatnya bertambah stres sehingga selama di RS hanya sekali bisa buang air besar. Bisa dibayangkan sakitnya mengalami sembelit. Aku sarankan untuk menggunakan pispot saja tidak usah ke kamar mandi. Ternyata sesuai dengan yang disarankan perawat untuk bedrest sampai kondisi membaik. Selama lima hari mereka bedrest, suami menggunakan botol bekas minumnya untuk buang air kecil. Sementara anakku menggunakan pispot. Sehari sekali perawat masuk untuk mengecek kondisi pasien dan membersihkan pispot.

Di rumah tidak lepas-lepas kupanjatkan doa pada Alloh agar mereka disegerakan kesembuhannya. Kumintakan juga doa pada saudara maupun teman-temanku untuk kesembuhan suami dan anakku. Hampir setiap hari membaca informasi di beberapa grup selalu beita kematian. Sehari dalam satu grup bisa dua orang meninggal karena covid.

Dihari ke delapan aku dan si kakak mengantarkan air mineral dan buah ke RS. Sekalian mengambil baju-baju kotor. Untuk mengambil baju kotor harus turun ke depan IGD. Semua baju kotor pasien setelah disemprot dengan desinfektan di letakkan di meja depan IGD. Baju-baju tersebut dibungkus plastik dan disterilkan juga. Saat menunggu baju kotor, tiba-tiba ruang isolasi meneleponku membertahukan bahwa saat itu juga suami boleh pulang karena hasil swap negatif. Gembira rasanya mendengar suami boleh pulang. Akan tetapi anakku harus tinggal di RS karena swap masih positif, dia mengalami long covid.Antara sedih dan gembira, ada yang pulang ada yang tinggal. Kasihan dia stres sepertinya.

Aku masih menunggu di depan IGD untuk mengambil baju kotor tadi.  Kemudian perawat mengantarkan suamiku ke depan IGD juga. Setelah itu pulang dengan naik angkutan sementara si kakak naik motor sendirian. Sesampai di rumah suamiku masih kepikiran dengan anakku, dia tidak tenang dan sangat khawatir meski di ruang isolasi masih ada teman pasien yang lain. Semalam aku dan suami berencana untuk meminta pulang anakku, cukup dengan isoman saja. Keesokan harinya aku mengantarkan prebiotik dan air mineral. Lalu kucoba komunikasikan dengan perawat bila anakku isoman saja. Ternyata memang hari itu pihak RS mau memindah ke rumah SKB di Pandaan. Tempat menampung pasien covid yabg tidak mengalami komorbid. Aku dan suami tidak menyetujui karena akan menambah beban si anak. Kondisinya sudah membaik hanya belum bisa BAB. Setelah dokter menanyakan jumlah anggota keluarga, jumlah kamar mandi, jumlah kamar tidur dan adakah yang komorbid, semuanya sudah memenuhi prosedur isoman. Kemudian barulah di perbolehkan isoman di rumah.

Selamat tinggal RS, kami berkumpul lagi. Meski anakku long covid dan masih positif selama di rumah kularang pakai masker. Kuanggap sehat, kita tetap duduk berdekatan, tidur-tiduran dikamarku sambil cerita betapa menderitanya berada di ruang isolasi karena jauh dari kamar mandi. Di RS setiap pasien hanya memikirkan diri sendiri untuk dapat mempertahankan hidup. Bagaimana caranya mempunyai semangat untuk sembuh. Benar- benar perjuangan kata suami dan anakku. Mereka satu ruangan tapi seperti beda ruang. Tidak kuat mengeluarkan suara untuk saling menyemangati. Saking lemahnya, jalan lima langkah sudah terengah-engah. Jangan sampai kembali lagi ke RS. Terima kasih Bu dokter dan para perawat yang sudah membantu kesembuhan suami dan anakku.

Rasa nyaman berada di rumah meski mengalami long covid sangat membantu kesembuhan. Meski perawat memberi pesan agar tetap pakai masker selama di rumah tapi aku menganggap anakku sembuh. Saudara dekat pada menjenguk ke rumah tanpa ada rasa khawatir. Sepuluh hari plus tiga hari dari kepulangan anakku merupakan hari kebebasan kami dari covid-19. Jangan pernah singgah lagi. Selamat tinggal covid kami sudah sembuh. Pasti banyak hikmah dibalik covid-19 yang singgah di keluargaku. Kami menghargai kesehatan, sakit yang sedikit aneh membuat kami begitu dekat denganNya. Suplemen yang kami konsumsi amat sangat membantu terutama suplemen doa. Hanya Alloh yang maha penyembuh.
 
Terima kasih khususon para pendoa. Ada cerita di balik covid-19 singgah sejenak.

 #Happy Writing

#70 tulisan(13) 

Covid-19 Singgah Sejenak (Part 2)

 Melihat kondisi suamiku yang ada gejala batuk dan tenggorokan sakit maka dokter menyarankan untuk mencari rumah sakit sendiri. Untuk anakku cukup isolasi mandiri dan pemberian obat serta vitamin dari PKM. Sempat kutanyakan kenapa tidak ada rujukan dari pihak PKM, mengapa juga harus mencari rumah sakit sendiri. Kemudian dokter PKM tersebut menjelaskan apabila 

memberikan rujukan sudah dipastikan tidak menemukan rumah sakit kosong. Seluruh rumah sakit rujukan sudah penuh dengan pasien covid-19. Bahkan menolak pasien karena sudah tidak ada ruang.

Dengan dasar itu maka kuputuskan untuk isoman saja semua tanpa ada yang isolasi di RS. Toh percuma aku keliling tidak akan menemukan rumah sakit yang masih menerima pasien. Akhirnya suami dan anakku pulang, sementara aku masih harus menebus resep antibiotik karena di PKM tidak tersedia.
Informasi dari dokter PKM obat antibiotik tersebut agak sulit untuk didapatkan. Bener juga, aku keliling sampai 4 apotik semuanya kosong.

 Anehnya lagi setiap apotik selalu menanyakan tentang dosis  obat dan aturan minum. Mereka bilang bahwa dosis yang harus dibeli dan aturan minum melampaui dosis seharusnya. Salah satu dari apotik menyarankan untuk menanyakan kembali ke sokter pemberi resep apakah tidak ada kesalahan. Ketika aku tanyakan perihal jumlah obat dan dosis pada dokter PKM pemberi resep jawabnya tidak ada yang keliru,  dosis dan aturan minum sudah benar yaitu 2 kali dalam satu hari. Sementara pihak apotik mengatakan untuk obat antibiotik tersebut harus diminum 1x 1.

Agak susah juga mendapat obat antibiotik ini entah karena banyak pengguna atau karena pasokan kurang sehingga sulit untuk mendapatkannya. Alhamdulillah ada teman yang anaknya bekerja sebagai perawat dan mau membantu untuk mencarikan antibiotik tersebut yang baru kuingat namanya Acetromicyn. Dia juga heran melihat resep yang mencantumkan dosis serta aturan minumnya. Setelah aku dapatkan antibiotik tersebut, segera kutanyakan temanku yang dokter itu. Kuceritakan semua permasalahan tak lupa pula tentang antibiotik dan aturan minumnya. Aku merasa pas saat dia mengatakan dosis dan aturan minum sebenarnya. 10 tablet dengan aturan minum 1x1 akhirnya aku ikuti saja apa saran dari temanku yang dokter itu.
Selama 3 hari di rumah kondisi suami dan anak ternyata tidak semakin baik. Apalagi suami, batuknya semakin menjadi. Di hari kedua mengalami sesak nafas, diare, muntah dan seolah tak bertenaga. Begitu pula dengan anakku yang berada di kamar atas. Ketika harus ke kamar mandi yang terletak di lantai bawah dia harus berjalan sangat pelan menuruni tangga. Makan sudah tidak berselera, apalagi melihat jumlah obat yang begitu banyak melebihi jumlah obat ayahnya. Belum lagi dia selalu kepikiran dengan kondisi ayahnya.

Setelah isoman selama 3 hari bukannya semakin membaik akan tetapi kondisi suami dan anakku merosot jauh. Terutama suami harus melakukan proning seperti yang beredar di beberapa grup WhatsApp. Selain itu usaha lain seperti minum rempah-rempah juga kubuatkan setiap hari. Sampai dengan usaha menghirup uap air yang dicampur minyak kayu putih dan bawang putih. Dengan melihat kondisi suamiku yang menghawatirkan paginya segera ku hubungi dokter PKM. Kuceritakan keadaan suami dan anakku yang juga mulai mengalami muntah serta diare. Dokter PKM menyarankan untuk membawa suami ke rumah sakit. Tak berapa lama dikirimkannya link ketersediaan ruangan di RS rujukan. Setelah kubuka link tersebut dan mulai kucari RD terdekat. Dari 4 RS hanya ada satu RS yang menerima pasien covid. Di aplikasi tersebut dituliskan tempat tidur kosong tersedia untuk satu orang. Setelah berunding dengan suami kuputuskan untuk bertahan dulu. Selepas maghrib kucoba membuka aplikasi ketersediaan tempat tidur untuk pasien covid. Ternyata di RS terdekat ada yg sudah kosong, kesempatan untuk bisa masuk RS bagi suami.

Malam hari semua nyaris tanpa tidur. Aku naik turun melihat kondisi anak yang semakin drop, makan tidak selera, beberapa kali muntah dan mulai diare seperti yang dialami ayahnya. Panas semakin tinggi sehingga aku harus mengompres keningnya dengan handuk basah. Di kamar depan suami terkulai lemah dengan nafas tersengal-sengal. Jalan ke kamar mandi harus berpegangan pada dinding yang dilaluinya. Sampai jam 11 malam kondisi tidak berubah. Lalu ku ingat Bu Noer seorang teman  yang penyintas covid dan belum lama keluar dari RS tersebut. Aku tanyakan prosedur pesan bad di RS melalui WhatsApp. Ternyata dia belum tidur dan langsung menelponku. Diceritakannya bagaimana proses dia dan ibunya masuk RS. Diceritakan pula tentang pelayanan di sana. Pokoknya lengkaplah . Setelah itu dia pamit mengakhiri telepon.

Malam itu segera kupersiapkan perlengkapan suami dan anak untuk satu minggu ke depan. Rencana pagi-pagi minta tolong pada keponakan suami untuk menyewakan ambulance. Setelah semua beres  kuhampiri suami di kamar depan. Kondisinya sangat lemah, tidur dengan besandar disusunan bantal agar mudah bernafas. Suamiku ternyata tidak bisa tidur, dia bangun dan turun dari tempat tidur minta dibuatkan uap air panas dengan bawang putih. Sampai lewat tengah malam masih belum bisa tidur dan susah bernafas. Aku kembali ke kamar untuk istirahat sejenak.

Keesokan hari setelah subuh aku hubungi keponakan suami dengan tujuan minta tolong untuk mencarikan ambulance di PKM. Kuceritakan kondisi suami dan ada informasi tempat tidur kosong di RS terdekat. Beberapa saat kemudian keponakan suamiku menghubungiku lagi menceritakan bahwa PKM tidak  menyewakan ambulance untuk orang yang terkena covid.  Sempat bingung juga karena aku tidak punya mobil, waktu itu yang ada di pikiranku kalau sewa mobil pasti  pemilik mobil tidak bersedia membawa pasien covid. 

Kondisi pandemi seperti ini sangat sulit semua pada takut bila dekat dengan penderita covid. Hanya istighfar yang bisa kuucapkan, benar-benar bingung. Lalu di seberang sana ponakan bilang mau menelepon pak Kades dulu dan menutup telepon genggamnya. Tak berselang lama pak Kades menghubungiku menanyakan keadaan suami dan anakku. Kebetulan pak Kades ini teman sekolah adikku dan juga satu klub gowes suamiku. Kemudian beliau bilang kalau suami dan  serta anakku dipastika bisa masuk RS pagi ini karean sudah dihubungi oleh pihak PKM. Masyaallah orang-orang baik telah menolong keluargaku.

Bersambung....

#Happy Writing
#70 tulisan(12)

MERAIH PENGHARGAAN ADIWIYATA MANDIRI

  Dok. Pribadi Setelah gagal tahun lalu dalam meraih penghargaan Sekolah Adiwiyata Mandiri,  tidaklah menyurutkan semangat SMPN 1 Beji untuk...