Melihat potret ini jadi teringat pada bulan Juli yang lalu, anak satu-satunya terbaring lemah di rumah sakit bersama ayahnya. Mereka berdua berjuang untuk bertahan dan membangkitkan semangat hidup masing-masing. Covid -19 telah mengampiri keduanya.
Berawal dari telepon kepala dusun yang sebelumnya menghubungi suamiku akan tetapi tidak tersambung. Kebetulan kepala dusun tersebut masih keponakan suami. Dia memberikan informasi bahwa di Puskesmas sedang berlangsung vaksin masal. Aku pun memintanya untuk mendaftarkan suami dan anak satu-satunya. Segera pula suami dan anak kuhubungi untuk datang ke puskesmas yang letaknya tidak jauh dari rumah. Alhamdulillah tanpa antri lama mereka berdua sudah mendapatkan pelayanan vaksin.
Selang tiga hari setelah vaksin suami mulai merasakan hal yang tidak enak di bagian punggung. Jadi ceritanya hari Rabu tanggal 30 Juni divaksin jenis sinovac, kemudian pada hari Sabtu siang hari suami merasakan seolah-olah ada angin keras yang menghantam punggungnya. Sesuatu yang seperti angin tersebut berputar dipunggungnya beberapa saat. Karena agak pusing dan berat dipunggung maka dia merebahkan tubuhnya sambil berpikir apa yang sedang dialaminya.
Jam 12.00 waktunya pulang kerja, sampai rumah suamiku masih merasakan badannya tidak enak. Demam, pusing, bersin, tenggorokan sakit dan bagian dada sampai kepala terasa panas. Karena mulai merasakan gejala flu maka kuberikan obat flu persediaan di rumah. Sampai hari Senin kondisi belum berubah tapi masih masuk kerja. Kemudian Selasa pagi dia diantar anak laki satu-satunya untuk pijat refleksi di langganan kami.
Di lokasi pijat lumayan lama antriannya. Kondisi pandemi banyak orang sakit dengan gejala yang sama. Rata- rata mengalami demam, tenggorokan sakit, juga merasakan flu. Dua jam lebih harus menunggu giliran, tak sebanding dengan durasi pijat yang sekitar 10 menit. Akan tetapi karena motivasi ingin segera pulih maka semua yang antri dengan sabar menunggu gilirannya.
Sampai di rumah suami mengatakan kondisinya lebih enak dari sebelum pijat. Bagian leher belakang mulai lemas yang tadinya dirasakan sangat kaku. Seharian digunakannya untuk tidur berselimut rapat dengan maksud agar dapat mengeluarkan keringat. Karena biasanya setelah berkeringat badan menjadi enakan.
Keesokan hari kondisi masih belum begitu bagus sehingga harus istirahat di rumah. Saat akan sholat subuh anakku mengatakan kalau semalam tenggorokan sakit dana badannya hangat. Segera aku cek dengan termometer badan dan hasilnya suhu 38 derajat. Tidak menunggu lama hari itu juga berangkat ke tempat pijat yang kemarin. Kondisi anak masih bagus jadi kuat untuk naik motor sendiri, lagi pula aku harus ke tempat kerja setelah mengantarkannya ke tempat pijat. Sempat kutanyakan pada pemijat sakit apa anakku, apakah tertular ayahnya. Jawaban pemijat kondisi udara lingkungan sudah kotor, banyak penyakit, orang akan mudah sakit.
Sore harinya suami aku ajak ke dokter praktek yang masih buka, karena sudah banyak dokter praktek yang tutup akibat PPKM terbatas. Suamiku tidak mau diantar karena merasa kuat, dia berangkat sendirian. Akan tetapi karena antrian pasien yang panjang maka dia balik ke rumah menunggu pasien berkurang. Dua jam kemudian ternyata dojter praktek sudah tidak menerima pasien, karena yang di dalam masih banyak. Akhirnya suami pun pergi ke UGD terdekat, setelah diperiksa lalu diberikan obat yang ternyata sama dengan persediaan obat di rumah yaitu obat untuk meredakan gejala flu.
Teringat dengan teman SMA yang berprofesi sebagai dokter spesialis paru, segera ku kirim pesan melalui WhatsApp. Kuceritakan kondisi anak dan suami yang setelah vaksin mengalami gejala sakit yang sedang umum terjadi. Gelombang tsunami covid-19 sedang melanda negeri ini. Di mana- mana banyak orang terpapar covid-19 dan sampai-sampai ada yang tidak mendapatkan rumah sakit karena sudah penuh. Kembali ke teman dokter tadi, dia menyarankan agar suami dan anakku segera kembali ke tempat dimana dilakukan vaksin semula.
Jumat pagi kami bertiga berangkat ke PKM. Setelah mengambil nomor antrian untuk suami dan anak kami duduk di ruang tunggu. Anakku mendapat giliran diperiksa dokter. Tak lama kemudian dia keluar sambil membawa resep. Gantian dengan ayahnya yang mendapat giliran diperiksa. Ternyata suami harus menjalani pemeriksaan swab. Lokasi swab ada di luar ruangan, terletak di pelataran PKM yang diberi tenda. Sebelum pandemi lokasi itu adalah tempat parkir motor para pasien. Selama pandemi pelataran PKM tidak diperbolehkan untuk parkir motor pasien. Hal ini disebabkan lokasi parkir digunakan untuk ruang swab terbuka.
Tidak berapa lama hasil swab antigen milik suami keluar, kemudian kami bertiga dipanggil untuk memasuki ruangan pemeriksaan. Ternyata hasil rapid antigen tidak membuat hati gembira. Suamiku terpapar covid-19, tampak sedikit sedih menyelimuti wajahnya. Karena suami positif maka aku dan anakku harus di tes rapid antigen juga. Hasilnya anakku positif sementara aku sendiri negatif. Tidak seperti ayahnya anakku hanya tersenyum sambil sedikit menggoda ayahnya dan mengatakan agar tidak usah takut akan kondisi yang sedang dialaminya. Dia bilang ke ayahnya kalau covid-19 akhirnya singgah juga.
(Bersambung)
#Happy Writing
#70 tulisan(11)
omjay juga mengalami isolasi mandiri karena positif covid19, jadi rileks dan santai saja menghadapinya. Alhamdulillah omjay sekeluarga pulih kembali.
BalasHapuswah sama ya Om, tapi tetap semangat
Hapus